CANGKEM ELEK

 

Sudah sering kita dengar tentang cerita adanya dialog antara jamaah pengajian dengan salah satu kyai yang memimpin pengajian tersebut.

“berarti setan pun tidak merasa panas pak kyai ketika dimasukkan ke dalam neraka? Kan bahan dasarnya sama, sama sama dari api”. Intinya begitu pertanyaan yang sekaligus mengandung pemantapan atas asumsinya tersebut.

Bukannya menjawab pertanyaan, sejurus kemudian justru sang kyai langsung mengambil tanah dan melemparkan gumpalan tersebut tepat di muka si penanya.

Tentu hal tersebut menuai protes dari si penanya, karena tujuan dia bertanya adalah untuk mendapatkan jawaban, bukan dilempar gumpalan tanah tepat di mukanya.

“Loh, pak kyai, maksudnya bagaimana ini kok saya dilempar tanah begini?.”

Tapi hal tersebut ternyata adalah jawaban yang diberikan pak kyai kepada sipenanya.

“tadi kan kamu bilang kalau api ketemu api tidak panas kan? Nah sekarang masak tanah ketemu tanah sakit sih?”. Enteng kyai tersebut menjawab.

Sontak jamaah yang bertanya tersebut terdiam mendengar jawaban kyai.

Tiba-tiba saya teringat dengan salah satu kyai kharismatik dari jawa tengah, beliau pernah mengatakan kalau untuk melawan kebodohan dan kebathilan, maka tidak masalah jika harus menggunakan logika dan bahasa yang fulgar. Orang jawa sering menyebutnya cangkem elek.

Amat sangat susah menjelaskan atau beradu pendapat dengan orang yang sudah asyik menyembah kepalanya sendiri. Seperti pertanyaan salah satu jamaah tersebut. Bisa saja sang kyai menjelaskan tentang senyawa atau partikel yang terkandung di dalamnya, tapi kan ya akan buang-buang waktu, mengingat si penanya juga sudah mengkultuskan kebenaran berfikirnya, maka langkah yang tepat adalah ya itu tadi, cangkem elek.

Tapi hal tersebut hanya bisa digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang sifatnya sudah menjadi kebenaran mutlak, yang ada dasar hukumnya, yang jelas akurasi referensinya, tetapi untuk menjelaskan kepada ibu-ibu yang koar-koar dengan toa mengutuk siapa saja yang dituduh terlibat dan berperan dalam kekalahan paslon dambaannya, tentu itu bukan langkah yang tepat, mengapa? Karena jika orang-orang tersebut dilawan dengan cangkem elek, yang ada malah hanya akan muncul potensi kerusuhan dengan skala besar. 

Termasuk juga kepada pelaku kriminal jalanan yang akhir-akhir ini merebak, yang didominasi oleh anak dibawah umur, saya rasa jika tidak ada sanksi yang diberikan atau cuma sebatas sosialisasi saja, maka bullshit jika berharap angka kejahatan jalanan akan menurun. Sesekali memang hidup ini harus diawur sedikit, anak-anak pelaku pembacokan dijalan, penjarahan harta benda, sampe yang menyebabkan hilangnya nyawa, jika terus-terusan dilindungi dengan dalih “di bawah umur” (apapun bentuknya), ya tidak usah heran jika hal hal tersebut akan me-regenerasi dan sangat mungkin penyebarannya akan bertambah pesat, lha wong mereka mereka itu sudah mengerti dan sadar kalau mereka itu dibawah umur dan dilindungi, makanya tingkah arogansinya juga dilakukan dengan gagah berani.

Sesekali anak anak seperti itu harus diberikan sanksi yang lumayan bisa bikin jera, misal, disuruh menghabiskan 2 crutu dalam sekali duduk, sholat dhuha di alun alun kota surabaya jam 11 siang dan tidak boleh berteduh sebelum bajunya basah keringat, makan tiga porsi gacoan level max dan tidak boleh minum, menjadi anggota kpps tanpa dibayar, atau juga boleh diberi hukuman dengan cara jalan kaki dari sidoarjo sampai madiun sambil menyanyikan mars partai perindo, atau boleh juga hukuman kreatif yang tidak terkesan sadis tapi bisa menimbulkan efek jera. hehehe

 

Comments

Popular Posts