Overdosis kebodohan !
Kita semua pasti sudah tahu, beberapa hari yang lalu kabar duka datang dari salah satu maskapai penerbangan kita. Hampir semua secara explisit sudah dijelaskan. Mulai dari blackbox, daftar nama nama penumpang (korban beserta alamat), tim identifikasi, dan yang lain lain itu. Data sudah sedemikian valid dan masyarakat percaya bahwa kecelakaan itu adalah murni sebuah kecelakaan yang tidak disengaja. Ditengah tengah situasi haru seperti ini, tiba tiba masuk tawaran teori--cocoklogi-- baru yang lagi lagi bermuara pada kepentingan politik.
Sungguh sangat tidak manusiawi.
Di salah satu beranda facebook teman, dikatakan, Jt610 adalah lambang J : jokowi, t : tumbang, 6 : 6 bulan lagi, 1 : 1 periode aja gagal, dan 0 : 0 hasilnya. Hal seperti ini sangat berbahaya. Apakah kita tahu masyarakat yang awalnya sudah fine fine aja dengan kejadian ini akan ikutan menyangkut pautkan dan membenci pak jokowi?, apakah kita tahu keluarga korban yang semula sudah ikhlas ditinggalkan akan berprasangkan buruk kepada pak jokowi. Teori teori ini jila terus disebarluaskan dan dikonsumsi mentah mentah, maka sangat mungkin sekali perseteruan akan terus terjadi, dan seburuk buruk kemungkinan adalah keterpecahan kita sebagai bangsa indonesia.
Apakah kurang puas siang malam kita habiskan hanya untuk menyerang dan saling menjatuhkan?.
Dark campaign seperti ini harusnya sebisa mungkin ditiadakan, pasalnya mereka memanfaatkan kesedihan orang lain untuk mencari keuntungan suara. Sama saja kita berpesta pora dangdutan nonstop hingga menjelang pagi, tapi bersamaan dengan itu ada saudara kita yang tercekik meronta karena jeratan hutang.
Lagi pula jika ini diteruskan, bisa bisa kinerja otak akan semakin menyempit dengan sendirinya. Bagaimana tidak, apapun yang terjadi, jawabannya cuma satu, salahkan pemerintah, sudah beres masalah. Jadi tidak perlu diadakan pembahasan atau pencarian solusi tertentu yang jitu untuk manangani sebuah masalah.
Kecelakaan, salahkan pemerintah. Kemiskinan, salahkan pemerintah.
Bbm naik, salahkan pemerintah. Kemacetan, salahkan pemerintah.
Kalau kurang setuju dengan kebijakan, boleh boleh saja, tapi penyampaiannya juga harus pas. Jangan sampai memanfaatkan atau menunggangi apa yang sekiranya menguntungkan, apalagi sampai merugikan yang lain.
Sudah lama kita kenal akrab dengan pancasila, tapi apakah perkenalan tersebut hanyalah sebatas perkenalan?, atau kah perkenalan tersebut bertujuan untuk keuntungan?, atau bagaimana?.
Jika kita berkaca pada sila ke-2, "kemanusiaan yang adil dan beradab". Patokannya jelas, harus beradab. Tapi apakah yang terjadi sekarang dengan teori cocoklogi itu beradab?.
Tentu tidak harus dengan upaya yang muluk muluk untuk menghindari perpecahan dan menuju persatuan. Dimulai dari skala yang paling kecil, yaitu diri kita sendiri dan lingkungan sekitar. Minimal kita tidak mudah termakan provokasi, apapun jenisnya, dan juga tidak buru buru berkesimpulan dan menyebarkan berita berita yang belum jelas kadar kebenarannya.
Harusnya kita bisa belajar dari apa yang sudah dicontohkan masyarakat sidoarjo beberapa waktu lalu yang sempat ramai lewat sosial media, dimana mereka menghormati keluarga korban dengan tidak menaiki motornya ketika melintas di depan rumah duka. Sungguh pemandangan yang benar benar nyata menunjukkan identitas bangsa indonesia dengan kesopan santunannya dan juga tinggi akan solidaritas. Karena memang kalau tidak bisa meyembuhkan luka, minimal jangan menambah menggores luka.
Terakhir, apakah kita tidak ingin kalau keharmonisan itu terus berlanjut?, apakah kita tidak ingin jika kita tetap guyup rukun dan adem ayem?, apakah kita mau selamanya saling serang dengan saudara sendiri hanya karena beda pilihan?. Atau justru sebaliknya, kita jaga dan rawat kerukunan, perdamaian, persaudaraan yang menjadi identitas bangsa indonesia?. Temtu jawaban itu semua ada pada tangan kita masing masing.
Sungguh sangat tidak manusiawi.
Apakah kurang puas siang malam kita habiskan hanya untuk menyerang dan saling menjatuhkan?.
Bbm naik, salahkan pemerintah. Kemacetan, salahkan pemerintah.
Comments
Post a Comment