Standar yang tidak standar.
Salah satu efek dari pengaruh suatu lingkungan adalah terciptanya standar hidup, baik secara sadar ataupun tidak. Dalam hidup, kalau ditanya siapa penunjang utama yang berpotensi membawa ke arah baik, jawabannya ya lingkungan. Tapi kalau ditanya siapa yang mendorong lalu jatuh dan tersungkur di lembah kesia-siaan, jawabannya juga lingkungan. Lalu muncul pertanyaan, misal, berarti harus tetap mencari lingkungan yang steril dong, yang berkemungkinan untuk meningkatkan potensi hidup?. Jika sudah muncul pertanyaan demikian, tiba-tiba saya teringat dengan "dawuh" salah satu tokoh yang sudah lama saya kagumi. Begini dia bilang "ikut perang kok dengan tujuan mati syahid, ya nggak gentle".
Kalau mau dipikir dengan logika dasar ya sederhana. Tujuan utama perang di zaman dulu adalah untuk sebuah kemenangan islam, jelas. Jadi kalau semakin banyak orang yang punya pula pikir seperti itu--yang perang hanya digunakan tameng untuk mati syahid--maka semakin banyak orang yang mati syahid, semakin lama juga dong islam akan maju dan bertambah banyak pengikutnya.
Itu kalau kita mengukurnya dengan nilai kuantitatif. Ya meskipun saya juga paham kalau tidak semua kegiatan atau ritual dalam beragama itu bisa di logika, tapi penggunaan akal sehat sepertinya sangat perlu untuk memilih dan memilah pilihan di zaman ini.
Kalau masih ragu tentang tidak semua kegiatan atau ritual dalam beragama itu tidak semuanya bisa dilogika, saya kasih contohnya. Pertama, perang badar, perang badar baik secara kualitas ataupun kuantitas ya sudah pasti kalah kalau diurut dengan logika. Lha gimana, 1000 orang lebih yang semua adalah " juru perang", berhadapan dengan 300 mas-mas seadanya yang tidak semua jam terbangnya dalam dunia peperangan sudah diakui. Belum lagi untuk menuju ke Badar itu harus berjalan kaki dulu sekian kilo meter. Dan perlu diketahui, di zaman dulu belum ada go-car.
Itu salah satu, dan masih banyak lagi contoh contoh yang bisa dijelaskan. Tapi sepertinya untuk sementara, itu sudah mewakili, lagi pula saya juga sadar kalau saya bukan orang yang punya ekspertasi untuk membahas tentang hal-hal itu.
Oke kembali ke awal, pada dasarnya pada setiap lingkungan, itu ada aspek dari keduanya tadi, iya, membangun dan juga menghancurkan. Tinggal di lingkungan selebriti tidak lantas menjadikan anda selebriti juga. Dan tinggal di lingkungan maling juga tidak membuat anda auto menjadi maling. Kasarannya begitu, jadi ketika tinggal di suatu lingkungan, tidak lantas menjadikan kita sebagai template dari lingkungan itu.
Beberapa hari lalu saya sengaja janjian ketemu dengan teman saya disebuah warung kopi, karena memang sudah agak lama saya tidak bersua dengan dia. Akhirnya bertemulah kami, dari berbagai macam obrolan, salah satu yang paling teringat adalah "sambat"nya dia tentang kehidupannya sekarang ini. Bagaimana tidak, dia harus rela mengimbangi gaya hidup teman sekitarnya yang--bisa dibilang--hedon. Nongkrong serba di tempat-tempat mahal, barang harus serba branded, makan juga sebisa mungkin yang diatas standar anak anak kos pada umumnya. Dia mengeluhkan tentang kebiasaan barunya itu, soalnya memang tidak sebanding antara pemasukan dia dan pengeluarannya.
Kemudian dia coba memancing saya untuk merespon hal itu. Ya saya simpel saja "ya kalo memang tidak srek, ya gausah dilanjutin". Menjalin pertemanan itu penting, tapi dengan catatan seperti diawal tadi, tidak semua harus menjadi seragam dari pertemananmu tadi. Berteman dengan orang kaya? Why not? Tapi bukan berarti kita harus auto ber-selera sama dengan si kaya tadi.
Sering loh saya menolak ajakan teman untuk nongkrong di-cafe. Bukan berarti saya nggk suka sama cafe, dan bukan berarti juga saya tidak punya duit (meskipun memang hal ini kerap terjadi), tapi emang kurang srek aja gitu. Tapi itu juga tidak selalu begitu. Sesekali juga saya ke cafe meskipun intensitasnya sangat jarang sekali, bisa hanya sekali dalam hitungan bulan, atau bahkan tidak sama sekali dalam beberapa bulan.
Tapi kalau ngajak saya ke angkringan, atau ke mato, gandrung, dan yang sejenisnya. Ya ayo gas kencang sekarang juga.
Itu kalau kita mengukurnya dengan nilai kuantitatif. Ya meskipun saya juga paham kalau tidak semua kegiatan atau ritual dalam beragama itu bisa di logika, tapi penggunaan akal sehat sepertinya sangat perlu untuk memilih dan memilah pilihan di zaman ini.
Comments
Post a Comment