Hati hati dengan kepintaran !
Seperti biasa ketika diajak mengirim barang keluar kota, saya sebisa mungkin meniadakan kesepian, bukan apa-apa, masalahnya, menurut saya kesepian di dalam mobil akan berpotensi menimbulkan kantuk. Dan kita semua sudah tahu kalau banyak kasus kecelakaan terjadi dan setelah diselidiki, kantuk-lah penyebabnya.
Malam itu, sepanjang perjalanan, musik sengaja tidak saya berhentikan sama sekali. Sesekali hanya dikecilkan volumenya saja ketika berhenti di lampu merah. Bukan takut menjadi pusat perhatian, tapi hanya antisipasi kalau ada yg tidak suka dengan musik yg sedang diputar.
Obrolan tetap berlanjut, entah dari apa mulainya tapi yang pasti temen saya masih asyik memberikan respon dari cerita yang saya lemparkan, teman saya nyeletuk "haiyo piye, wong koncoku yo akeh sek pinter ning raiso kok".
Dia menceritakan banyak dulu temannya yang dalam sosial sudah mendapat label "anak pintar", tapi malah tidak bisa menyelesaikan tugasnya. Tapi kok bisa?. Padahal dalam tugas atau proyek tersebut kapasitas otak-lah yang jadi pemeran utama.
Saya mencoba menyelidiki, apakah gerangan penyebab utamanya?. Apakah label sosial yang diberikan padanya itu salah?. Atau memang tidak ada niatan dari pelaku untuk meyelesaikan program itu?. Atau bagaimana?.
Ternyata kata temen saya, semua temannya hampir bisa dipastikan ingin menyelesaikan program itu. Lalu saya tanya, bagaimana dengan keseharian mereka, apakah selaras dengan tujuan yang ingin dicapainya?. Ternyata temen saya menjawab begini. "Setau saya mereka itu kalau mau melangkah, pasti menunda-nunda".
Oh ketemu sekarang, saya tidak berani mengatakan ini sebuah kesimpulan. Tapi saya melihat adanya cela pintu yang terbuka dari label sosial yang selama ini diberikan kepadanya. Pertama, saya menyoroti penghargaan dia sebagai "orang pintar". Berdasarkan lingkungan dan pergaulan saya selama ini, orang pintar cenderung mempunyai sikap meremehkan, tentu tidak semua orang begitu, tapi kemungkinan hal ini terdapat pada temannya teman saya tadi. Karena memang kesediaan untuk menyisakan waktu kurang dilakoninya dengan maksimal.
Dihampir diseluruh lapisan masyarakat, semuanya berusaha untuk menjadikan dirinya atau generasi dibawahnya menjadi orang pintar. Apapun saja jalannya. Mulai dari sekolah fullday, sampai ada yang nambah lagi dengan privat-privat diwaktu lain. Teman saya malah menjaga jarak dengan dengan yang namanya "kepintaran". Iya, dia sangat berhati-hati dengan yang namanya kepintaran.
Saya berpikir, wah agak aneh juga orang ini. Entah memang benar-benar aneh, atau hanya saya yang melihatnya dari sudut pandang mainstream. Tapi kemudian saya mencoba menerka-nerka maksud dari omongan dia ini tadi. Sepertinya dia menjaga jarak itu dalam artian mengolah sebuah kepintaran tadi agar tetap berjalan sesuai koridornya. Dan "koridor" itu juga bermakna komprehensif. Mulai dari bagaimana dia mengendalikannya, menempatkan kapan dan waktunya dia boleh menggunakannya, sampai pada efek ketika dia menggunakan itu.
Kadang bersikap pintar dilingkungan yang tidak membutuhkan itu, malah tidak pas. Misal, ditengah berkumpul bersama teman-teman rumah yang kalau nongkrong biasanya bercanda, lalu datang dengan menggunakan kostum kepintaran dan langsung menjabarkan teori-teori revolusi dan serentetan bumbu-bumbu lainnya, ya ndak pas juga.
Bayangkan dari kecil kita sudah disatukan dengan lingkungan yang demikian, tapi tiba-tiba memberontak dengan cara yang salah.
"Loh memang ada pemberontakan yang benar?".
"Ada, silahkan dicari sendiri".
Atau ketika ada acara rutinan di desa yang sudah lama berlangsung, tapi kepalamu memberontak tentang itu karena--mungkin--menurutmu kurang benar, lalu dengan gagah datang berbekal sepikul argumen yang siap dihantamkan kepada siapa saja yg tidak setuju dengan kamu. Rasa-rasanya tindakan tersebut lebih bodoh dari orang yang benar-benar bodoh. Andaikan hal tersebut pernah terjadi, percayalah, bahwa seratus persen kehidupannya hanya dikendarai otaknya saja.
Hatinya?, nuraninya?, ahh mungkin sudah keras membatu.
Sedikit demi sedikit saya mulai menaruh perhatian kepada teman saya satu ini. Nampaknya manis pahitnya dunia sudah pernah dilakukan. Ada satu lagi yang masih saya bawa hingga sekarang. Bahwa menurutnya seseorang itu kalau bisa ya berperan sesuai kostumnya saja. Jangan terlalu muluk-muluk juga jangan terlalu merendah-rendah.
Kalau terlalu muluk-muluk, kita semua tahu lah apa konsekuensinya.
Tapi kalau merendah?.
Ternyata merendah juga tak kalah bahayanya, dari kerendahan itu jangan-jangan ada sedikit bisikan yang mengatakan bahwa "lawan bicaramu memang rendah sehingga kamu harus ikutan merendah". Secara tidak langsung langsung muncul-lah judging. Tapi ada kemungkinan bisikan lagi yang lain yang mengatakan "ah orang ini sombong, yaudah lah dari pada ikut ikut-an, mendingan diam aja". Loh kan judging lagi.
Saya mencoba menyelidiki, apakah gerangan penyebab utamanya?. Apakah label sosial yang diberikan padanya itu salah?. Atau memang tidak ada niatan dari pelaku untuk meyelesaikan program itu?. Atau bagaimana?.
Ternyata merendah juga tak kalah bahayanya, dari kerendahan itu jangan-jangan ada sedikit bisikan yang mengatakan bahwa "lawan bicaramu memang rendah sehingga kamu harus ikutan merendah". Secara tidak langsung langsung muncul-lah judging. Tapi ada kemungkinan bisikan lagi yang lain yang mengatakan "ah orang ini sombong, yaudah lah dari pada ikut ikut-an, mendingan diam aja". Loh kan judging lagi.
Comments
Post a Comment