Kesatria !

"Aduh entah-lah harus gimana lagi saya".

Sepotong kata yang juga bisa berarti jeda dari mulut kardi yang terus nyerocos. Kardi resah, lingkungan tempat dia tinggal sekarang seratus persen berbeda dengan laku hidupnya selama ini. Awalnya enjoy, sekarang kaku. Awalnya lentur, sekarang keras. Sekarang kardi bingung tentang lingkungannya ini, tapi yang lebih penting dari itu, dia bingung dengan dirinya sendiri karena sangat sukar sekali untuk beradaptasi.

Kardi merasa ini kurang pas. Ini adalah sebuah tekanan. Ini over pressure. Dan dia tidak bisa dibeginikan terus terusan. Hidupnya tak boleh di-intervensi siapapun. Tapi dibalik itu, dia tidak bisa memungkiri bahwa bagian terkecil dihatinya setuju dan menerima tekanan-tekanan tersebut. Sejujurnya dia ingin memberontak, tapi pemberontakan macam apa yang obyek dan sasaran utamanya tidak jelas. Satu hal yang membuat kardi bingung kelabakan, dia disuruh mempulangkan gitar yang dibawanya, dan dia dihujani dengan dalil dalil dan argumen yang sekiranya mempunyai power untuk melemahkan pertahanan kardi.

Kardi sendiri adalah pemusik, dari kecil dia sudah akrab dengan nada, tempo, ritme dan hampir semua elemen yang berkaitan dengan bunyi. Dalam kehidupan Kardi, musik adalah aliran darah, yang ketika darah itu diberhentikan dengan paksa, maka--mungkin--berhenti pula-lah hidupnya. Gitar adalah salah satu teman setia hidupnya. Apabila saya dan kardi sedang nongkrong berdua, itu berarti kita sedang tidak berdua, kita bertiga, karena baginya gitar itu mempunyai nyawa yang bisa untuk menghidupkan yang mati sekalipun.

Orang yang sudah mati rasanya, mati harapannya, mati akal dan pemikirannya, jika dipertemukan dengan senyawa musik yang pas, bisa dipastikan kematian-kematian tersebut akan hidup kembali. 
Tidak usah saya sebutkan siapa siapa orang yang hidupnya kembali cerah, harapannya kembali ditemukan, asa nya mulai tumbuhkembang akibat pelukan hangat dari musik. Sangat banyak sekali.

Tidak usah terlalu jauh membicarakan kesuksesan dan akibat dari musik. Karena diakui atau tidak, hidup kita hampir semuanya juga mengandung musik. Sangat naif apabila tidak mau menerima musik tapi gaya bicaranya masih membentuk sebuah irama, bukan?.

Dikehidupan yang sangat dinikmati Kardi, tiba-tiba dikejutkan dengan sebuah lingkungan baru yang sangat bertolak belakang jauh dari kehidupan semulanya. Kardi mengikuti semacam praktek lapangan di Klaten untuk beberapa minggu ke depan, dan sampai saat dia bercerita dengan saya, durasi waktu yang akan dilakoninya masih baru mau menuju pertengahan. Itu tandanya jika kardi hanya diam dalam kebingungan, mati-lah dia dalam setengah perjalanannya lagi.

Awalnya kardi sedikit punya konsep tentang sebuah serangan pemberontakan yang akan dilancarkannya, tapi kemudian difikir-fikir kembali, sangat tidak laki-laki menyerang kepada lawan yang tidak sepadan. Jagoan manapun tidak akan mau berperang jika yang disuguhkan kepadanya hanyalah seorang bocah ingusan yang hanya untuk memegang pedang saja jemari tangannya masih belum mampu.

Dikampung saya ada seorang pendekar di sebuah kelompok pencak silat ternama. Dia ini sudah dikasta paling atas dalam dunia pencak silat. Tapi dengan posisinya yang seperti itu, dia sama sekali tidak menampakkan kegagahan, keangkuhan, dan kesombongan. Dia pendiam, dimanapun dia bertemu dengan orang senyumnya tak pernah berhenti mengembang, dia ramah sekaligus ringan tangan.

Tapi jangan lupa, dia mematikan.

Andai kata para pendekar yang petentang-petenteng sok jagoan itu dikumpulkan dan disuruh bertarung dengan orang itu tadi, saya yakin segerombolan pendekar angkuh tadi tidak akan berani berbuat apa-apa, bahkan untuk melangkahkan kaki saja, saya rasa, mereka akan sungkan.

Saya yakin Kardi punya berlapis-lapis jurus untuk menangkal segala bantahan dan tuduhan tuduhan negatif terhadap musik. Tapi apabila itu dilakukan olehnya, dikhawatirkan lawan bicaranya akan terluka dan perlahan menjauh darinya. Kardi tak mau itu terjadi, Kardi sangat menghargai sebuah pertemanan.

"Loh berarti Kardi terdiam dalam sebuah penindasan?".

"Loh bukan diam, dia justru sedang bergerak dari dimensi lain".

Berdiskusi dengan orang yang sudah menyembah kepalanya sendiri itu susah-susah gampang. Sangat susah untuk bisa membuka pikirannya bahwa ada pendapat lain yang lebih pas untuk digunakan. Tapi sangat gampang untuk menjebaknya dalam sebuah kegagalan dan kerugian.

Meskipun tentu sangat tidak etis untuk merugikan orang yang sudah rugi, dan menggagalkan orang yang sudah berada dalam sebuah kegagalan.

" Tapi yang terpenting kan kebebasan Kardi?."

"Benar memang, tapi jangan lupa, dalam sebesar apapun peperangan pasti ada pengecualian-pengecualian, siapa-siapa saja yang boleh dibunuh dan siapa-siapa saja yang jangan sampai terbunuh".

Ahhh tiba-tiba saya teringat salah seorang tokoh yang sudah lama saya idolakan. Beliau pernah mengatakan begini,

"Kesatria sejati bukanlah yang bisa menumpas lawannya dengan sekali libasan pedang, tapi Kesatria sejati adalah yang mampu untuk tidak mendatangkan potensi permusuhan dan perselisihan".

Untuk beliau, Al-fatihah.

Comments

Popular Posts