Dibalik kepulangan jamaah haji !
Beberapa bulan lalu, jamaah haji Indonesia sudah tiba di tanah air mereka. Para tamu alloh itu tentunya bersyukur karena mereka telah selesai menunaikan rukun Islam yang ke lima. Dan semoga sempurna lah keislaman mereka.
Di sepanjang jalan, banyak sekali terlihat baliho baliho penyambutan dari para caleg yang akan maju di pemilihan mendatang, lengkap dengan pose manis dari mereka.
Tapi tahukah anda, dibalik semua kegembiraan itu, ada beberapa anggota keluarga--ini kita bicara keluarga yang kurang mampu -- kelabakan kesana kemari bingung memutarkan keuangan negara,ehh maksud saya keuangan keluarga.
Gimana tidak, budaya yang berlangsung sekarang kan begitu. Haji itu bukan hanya daftar, menunggu waktu, kemudian berangkat. Tidak sama sekali. Melainkan ada kegiatan kegiatan semacam deklarasi, ehh tapi masak deklarasi sih, kok kurang pas bahasanya. Ya pokoknya semacam pemberitahuan gitu lah. Jadi ya macem macem. Sebelum haji biasanya ada acara syukuran, ada yang syukuran biasa, tapi buanyak sekali yang syukuran gede gede an, mengundang salh satu atau bahkan beberapa kyai kondang sekaligus.
Tentunya yang saya maksud ini kyai beneran loh ya, bukan pak yai (numPak terus nggraYai) hahaha.
Acara demikian itu, you know lah, ga mungkin makan biaya kecil boskuh. Persiapannya pun juga gak instan. Nyiapin ini dan itu segala tetek bengeknya. Kasih upah yang bantuin masak, tukang salon, anggaran untuk pak kyai, beli kambing, sapi, kebo, jerapah, kudanil. Hahaha nggak nggak.
Itu baru pra haji nya, nanti kalo pulang haji, ya seperti itu lagi. Bahkan ada beberapa tradisi, ya mungkin di desa saya aja atau gimana saya nggak tahu, ketika warga pulang dari kunjungan nya di rumah pak haji atau Bu haji baru, dan pulang dengan tangan kosong, kemungkinan besar dan sudah bisa dipastikan akan jadi bahan omongan.
"Habis haji kok masih pelit, nggak mau kasih oleh oleh".
Aduuhhh gimana ya bos, kalo kondisi keluarganya yang kecukupan bahkan kelebihan sih no problem ya, kayaknya sah sah saja sampean ngomong gitu, soalnya posisi keluarganya yg kaya. Tapi kalo sebaliknya? .
"Loh tapi kan kalo udah bisa haji, berarti orang itu kaya." Kata siapa?
Okelah secara ruhaniah mereka kaya, karena merasa cukup hartanya dan berani menyisihkan sebagian untuk berangkat haji. Tapi secara materi?. Apa kalian lupa, di Jombang, sepasang suami istri penjual es tebu, menabung kurang lebih sekitar 12 tahun kalo nggak salah, demi cita citanya berangkat ke baitullah. Dengan kondisi yang seperti itu, apa masih tega kita mengharuskannya juga untuk melakukan ritual ritual mainstream sebelum dan sesudah mereka berdua haji?. Kalo dengan sukarela sih nggak masalah, tapi kalo sudah membudaya itu loh yang kurang gimana gitu. Bayangin anggota keluarganya bingung cari uang kesana kemari hanya demi menjamu orang orang yang berkunjung ke rumahnya.
Lebih baiknya dihilangkan lah, atau paling tidak diminimalisir. Jadi dateng ya dateng aja, minta di doain, sudah itu pulang. Urusan dikasih oleh-oleh atau nggak jangan dipermasalahkan. Di kasih ya syukur, kalo nggak dikasih ya di syukurin aja. Iya disyukurin. Syukurin gak dikasih apa apa hahahaha
Tentunya yang saya maksud ini kyai beneran loh ya, bukan pak yai (numPak terus nggraYai) hahaha.
"Habis haji kok masih pelit, nggak mau kasih oleh oleh".
Aduuhhh gimana ya bos, kalo kondisi keluarganya yang kecukupan bahkan kelebihan sih no problem ya, kayaknya sah sah saja sampean ngomong gitu, soalnya posisi keluarganya yg kaya. Tapi kalo sebaliknya? .
"Loh tapi kan kalo udah bisa haji, berarti orang itu kaya." Kata siapa?
oke oke menarik ini.
ReplyDelete