Teruntuk para pemalas !

Aku wegah sekolah, ra oleh duwet malah ngentekke duwet". Sudah barang tentu aku kaget mendengar statement seperti itu. Dengan enteng dan tanpa ragu terlontar kalimat itu dari mulutnya. Mulut yang ketika dia berucap demikian seakan diperlicin dengan kepulan asap yang sengaja pula dibumbungkan. Namanya Kardi, dia salah satu teman karman yg menyengaja tidak masuk dalam bangku sekolah formal. Padahal umurnya masih bisa dibilang kecil lah, masih seusia SMP, meskipun tampilan fisiknya dia tampak seperti tamatan SMA. Sementara aku hanya diam, begitupun dengan karman yang belum berani melangkah ke titik kesimpulan.

Ditengah gencar-gencarnya anjuran tentang wajib sekolah dua belas tahun, dia malah melanggar bahkan menentang anjuran itu. Awalnya aku curiga dia tak tahu tentang itu, tapi di kemudian hari baru kuketahui kalau tidak ada maling yang tidak tahu kalau maling itu tidak boleh. Sewaktu umurku seperti dia, aku juga mengalami fase-fase malas untuk bersekolah. Tapi sayangnya hasrat itu agak sedikit susah direalisasikan, pasalnya, kepala sekolahnya adalah bapakku sendiri. Sesekali iya, bahkan dulu pernah ditampar didepan umum karena dituduh sebagai provokator untuk sama-sama meninggalkan kelas diwaktu pelajaran sedang berlangsung waktu itu. Barangkali yang dialami Kardi ini sama dengan apa yang kualami dulu. Aku dan karman seperti bayi kecil yang mendengar dongeng dari kardi. Dia bercerita tentang hari-harinya yang dia sendiri samar-samar sudah menemui titik kebosanan.

Ketika teman sebayanya sedang belajar di dalam ruangan kelas yang nyaman, dia harus sudah ada di tempat kerjanya, sebuah meubel kayu. Awalnya dia asyik saja dan menikmati kesibukan harinya, hingga sore datang menjemputnya pertanda waktu kerjanya sudah selesai. Tapi tidak berhenti disitu, malam harinya Kardi ini kembali bekerja di tempat yang berbeda. Tujuan hidupnya tak lain hanyalah mendapat uang sebanyak-banyaknya dan kemudian bersantai di hari tua. Dia bercerita juga bahwa sekarang ini dia punya tanggungan baru, yaitu cicilan bulanan motornya. Jadi semakin banyak tanggungan yang dibawanya, maka harus semakin rajin pula dia bekerja, bahkan kalau perlu seharian nonstop tanpa ada jeda. Meskipun yang di-kaya-kan justru bosnya.

Lalu aku mikir, kok bisa sosialisasi atau penyuluhan atau apalah namanya itu, sebuah pendidikan tidak berhasil meluluhkan hati Kardi ini. Benarkah prinsip dia?. Apa yang salah?. Batu-kah dia?. Atau kalau boleh sedikit curiga, apa jangan-jangan selama ini doktrin pendidikan yang diterimanya justru malah membuat dia eneg dengan yang namanya belajar. Bagaimana lingkungannya ini?. Tapi kalau memang dia berangkat dari kesadaran penuh dan paham akan konsekuensinya, jujur, aku sangat salut dengannya, karena sudah berani berdiri tegak malawan arus yang sudah sekian lama berlangsung.

 ‘’Ha masio aku sekolah yo podo wae kan mengko endinge juga kerjo, lha kalo gitu ngapain buang-buang waktu untuk sekolah, mending kerjo mulai saiki, menang start.’’ Dia menambahkan.

Aku seperti ditampar dengan papan kayu yang sudah tertanam paku-paku di permukaannya. Bangsat !, benar juga dia ini. Selama pendidikan kita masih gini-gini aja, sepertinya pendidikan hanyalah sebuah kepantasan saja. Ya mohon maaf, tempo hari ketika nongkrong di salah satu sudut malioboro, aku mencegat penjual kopi keliling dengan termos ditaruh dipunggungnya seperti tas begitu. Kemudian kami terlibat sedikit obrolan, dan akhirnya aku tau bahwa dia adalah lulusan D3. Asumsiku sedikit bergerak menuju kesimpulan, bahwa seorang Kardi sepertinya bertindak bukan tanpa kalkulasi, justru Kardi ini memang tahu betul realita di lapangan bagaimana.

Dia bilang "menang start."

Alaamaakk. Telak lagi aku dibuatnya. Dia sudah berlari sedemikian jauh bertarung dengan medan yang mau tidak mau harus dia lalui. Sedangkan aku, aku, aku, masih saja kerepotan dengan persiapan-persiapan yang aku sendiri tak sadar bahwa persiapan-persiapan itu semakin jauh malah membuatku semakin tidak siap. Aku benar-benar polos dengan sepolos-polosnya kepolosan. Umurku masih muda, tapi ketika dihadapkan dengan Kardi, aku bagai tua bangka yang sekadar untuk berak dan kencing di kamar mandi saja tak bisa. Aku adalah sampah yang jauh terlempar dan kemudian terkubur dalam tanah.

Kalau tadi rasanya seperti ditampar dengan paku yang tertanam, kali ini rasa itu semakin ngeri, aku seperti dikuliti hidup hidup, kemudian dibelah dadaku, diambil hati, jantung, dan seluruh bagian dalam tubuh ku. Aku kosong. Bahkan sampai detik yang lumayan jauh ini aku bersekolah, aku belum berfikir sampai kesitu. Kepala ku berkecamuk. Tolol sekali aku ini. Yang setiap akhir bulan hanya bisa merengek-rengek meminta belas kasihan dan tak jarang juga membohongi orang tua. Padahal uang yang diberikan untukku yang harusnya untuk biaya hidup yang bener, malah kugunakan untuk berfoya-foya, mentraktir beberapa cewek yang aku ada ketertarikan dengannya, dan hampir setiap malam aku hanya ber-haha-hihi dicafe-cafe yang yang tak bisa dibilang murah. Aku masih lemah dan kalah untuk bertarung dengan nafsuku sendiri.

Pertama ketika aku duduk dengan si Kardi ini, aku merasa bahwa kastaku lebih tinggi darinya. Jelas dong, aku anak kuliahan, gaya hidupku bisa dibilang mentereng, ke warung sebelah untuk beli rokok saja aku sering kali memakai sepatu. Bahasa yang kugunakan juga bahasa bahasa ilmiah yang kental dengan isme isme itu. Sesekali juga aku mengoplosnya dengan bahasa inggris.
Tapi tak lama kemudian, didepannya, aku merasa seperti gelandangan dengan pakaian yang serba compang camping. Selama ini aku memuja teori, aku memuja konsep idealismeku, tapi aku lupa dengan kenyataan yang terjadi. Berfikir setelah lulus mau ngapain saja aku belum.

Tapi aku tidak mau kalah hanya dengan seorang bocah yang hanya tamatan SD. Aku sudah berkawan karib dengan gengsi dan kesombongan. Persetan kalian bilang aku egois, itu urusan kalian. 
Aku tetap membela diriku. Kenapa aku belum berfikir tentang jalan yang harus kulalui ketika lulus nanti. Begini, aku percaya bahwa di dunia ini ada beragam jenis tipe manusia, salah satunya adalah 'baru bersiap perang ketika sudah berada di medan perang'. Artinya begini, di waktu aku masih kuliah seperti ini, ya harus cuma kuliah yang menjadi konsen utamaku. Kalau urusan kerja, ya nanti saja. Meskipun ada juga sebagian orang yang sudah menyiapkan amunisi perangnya ketika masih dikandangnya. Itu juga tidak masalah bagiku. Dengan persiapan atau tidak, yang terpenting bagiku adalah ketahanan fisik dan mental ketika nanti sudah benar benar dalam medan peperangan. Persiapan sudah matang, tapi kalau mental down, ya mending pulang saja. Tanpa persiapan pun kalau jiwanya kuat dan berani, ya ayo saja, siapa takut. Tentu kata "perang" yang aku maksudkan adalah dinamis, bukan semata-mata seperti perang badar, perang baratayudha dan lain-lain.

Kita semua pasti sudah tau resiko terburuk dari sebuah peperangan, iya, kekalahan, atau bahkan kematian yang tragis !

Comments

Popular Posts