kegaduhan !
Sudah dikatakan bahwa negeri karman ini adalah negeri yang
“tongkat kayu dan batu jadi tanaman” dalam arti yang sebenarnya. Ditinjau
memakai perspektif apapun, logika yang sehat akan mengatakan bahwa kalau sudah
ada bagian dari kita yang sudah jelas jadi dan bagus, harusnya kita menjaganya
dan mempertahankannya. Dalam konteks ini yang dimaksud adalah negara.
Sebagai
penduduk suatu negara, sudah seharusnya ikut membantu dan menjaga kelestarian
negara juga. Apapun bentuknya.
Jadi seumpama suatu saat ada chaos, maka diantara mereka
harus ada yang turun tangan untuk meleraikan itu. Bukan malah membantu
membesaran api yang sudah berkobar.
Tapi para penduduk di negara karman itu
banyak yang terlalu lelap dalam lalainya. Kalau hanya sebatas lalai saja
mungkin masih agak manusiawi, tapi para penduduk ini benar benar terlelap dalam
kelalaian nya.
Negara karman ini memang berpotensi sekali menghasilkan
kegaduhan. Baik kegaduhan kegaduhan nyata, ataupun kegaduhan dalam cara dan
arah berfikir. Kalau kegaduhan
yang terlihat secara nyata, agak tidak sulit untuk menyelesaikannya.
Tapi kalau sudah gaduh dalam cara berfikir, itu sudah lain masalah.
Tentu tidak selamanya kata kegaduhan itu bermakna negatif.
Gaduh adalah kacau, gaduh juga berarti ribut. Kegaduhan dalam cara berfikir pun
sepertinya tidak masalah kalau memang itu berangkat dari ketidak benaran.
Berfikir terbalik dan melawan arus umum itukan juga bentuk dari kegaduhan. Tapi
kalau arus umum yang berlaku itu sudah bobrok, ya kenapa harus diikuti. Kalau
sudah seperti itu, maka kegaduhan itu no problem, malah baik, dan harus memang.
Maka dari itu tidak selamanya kegaduhan itu negatif.
Kalau yang sering disajikan di film kan “lebih baik mati dalam perjuangan dari pada
hidup dalam kemunafikan”.
Kalimat tersebut ada benarnya memang. Tapi sekarang
pertanyaannya adalah, apakah berjuang itu pasti harus mati?, apakah kemunafikan
itu tidak bisa dikalahkan?, apakah berjuang itu sudah pasti berlawanan dengan
kemunafikan?, bukankah sekarang ini banyak yang malah berjuang demi kemunafikan?.
Seumpama kalau ada opsi begini bagaimana, “lebih
baik hidup dalam perjuangan, dari pada mati dalam kemunafikan”.
Karena begini, bukan kah yang bisa berjuang itu hanyalah
yang hidup?, bukankah kemunafikan itu adalah kata lain dari kematian?, karena
eksistensi diri sudah tidak ada lagi. Jadi lucu saja kalau dibilang mati dalam
perjuangan dan hidup dalam kemunafikan.
Loh anda berjuang itu berarti anda hidup, bagaimana sih.
Oke, katakanlah gugur di medan juang, itu juga bukan mati,
boleh lah disebut mati, tapi jasadnya saja yang sudah tidak ada, tapi jiwa dan
rasanya masih akan tetap dan terus ada.
Kalau anda percaya dengan “mati dalam perjuangan” dengan
makna mati sungguhan, terus bagaimana dengan Munir, Wiji Tukul, Marsinah dan
lain lain, yang masih saja terus terdengar namanya dimana-mana, bahkan semakin
hari semakin keras terdengar. Apakah mereka mati?.
Tentu juga
masih banyak sekali contoh-contoh yang sudah anda ketahui. Jadi, perjuangan itu
hidup, sudaraku !
Kemunafikan adalah kepura-puraan. Pura-pura berjuang hanya
untuk kekayaan, pura-pura peduli hanya untuk jabatan yang tinggi, pura-pura
berbakti hanya untuk membodohi, dan kepura-puraan lainnya, itu adalah kematian
bagi dirinya sendiri. Persetan dengan harga diri, yang penting kenyang dan
terus menghamba kepada uang.
Comments
Post a Comment