Kesimpulan itu apa ?

Minggu pagi, karman masih terlihat duduk di bangku paling pojok warung kopi daerah selokan mataram. Suasana warung sudah terlihat agak sepi, para penghuni dan penikmat cairan hitam pekat itu sudah banyak yg pergi. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00. Malam telah pergi dan pagi sudah kembali. Sebrang 4 meja dengan karman, beberapa pemuda tengah asyik bernyanyi ria dengan permainan gitar yg alakadarnya itu. Sering sekali chord yg dipasang tidak pas dengan lagu yg dinyanyikan. Tapi tak mengapa, gitar hanyalah perantara menuju kebahagiaan mereka, tanpa gitar pun sepertinya tidak masalah, hanya saja sedikit terlihat agak 'wagu' kalo tiba tiba langsung berteriak menyanyi tanpa ada perkenalan dengan sekitar.

Perkenalan bagaimana? 
Loh bawa gitar ke warung itu sudah menunjukkan kalau mereka mau bernyanyi kan, ndak mungkin gitar itu hanya dibawa saja, atau mungkin dijadikan asbak, atau mungkin dijadikan bantal, kan ndak to. Bayangkan jika mereka tiba tiba langsung menyanyi saja, dengan suara yg keras pula, pasti ada beberapa orang disekitarnya yg akan bilang "edan po cah iki". Ini konteksnya menyanyi loh, jadi yg dimaksud ya membunyikan satu lagu full. Bukan cuma nyeletuk satu dua kata saja.

Sorot dan raut wajah mereka terlihat lepas tanpa ada beban sedikit pun. Tak terlihat ekspresi kesedihan atau kegelisahan sama sekali. Seperti bayi yg baru dilahirkan ke dunia yg tidak mengenal konsep penderitaan. Atau jangan-jangan malah mereka adalah benar benar bayi itu, yg apapun dan bagaimanapun kondisi dan masalahnya, mereka hanya akan bernyanyi. Seperti bayi yg entah dia lapar, mengantuk, panas, kedinginan, hanyalah tangisan yg akan keluar dari mulutnya. Satu kondisi yg amat sukar untuk mengambil sebuah kesimpulan.

Satu atau mungkin semua dari mereka tidak ada yg punya hutang yg mengharuskan mereka mencari cara dengan memutar kepala untuk segera melunasi.

Lha apa hubungannya sama hutang? Ya kan kalo mereka punya hutang harusnya berfikir dong untuk segera mencari dana untuk pelunasan, bukan malah buang buang uang dan waktu hanya untuk sekadar nongkrong dan ber-haha-hihi di warung kopi. 

Tapi apa memang harus begitu? Bukankah realita yg terjadi--untuk kelas menengah kebawah--malah sebaliknya. Di desa sy banyak sekali yg pekerjaan tetap pun mereka tak punya, tapi malah berani beraninya menikah. 

Loh itu kan konsep ngawur yg tak mengenal kalkulasi zaman modern. Lamaran, mas kawin, konsumsi resepsi, sound audio untuk acara, bayar penghulu dan tetek bengeknya itu. Belum nanti kalau kehidupan rumah tangga berlangsung, pasti semakin bertambah lagi anggaran yg harus dikeluarkan. Bayar listrik, bumbu dapur, perabot rumah, belum lagi kalau anaknya minta uang. Tentu banyak sekali jika diperinci. Sepertinya itu semua luput dari perhitungan, meskipun mungkin ke-luput-an itu disengaja, artinya ya memang tidak difikirkan sama sekali.

Saya curiga jangan-jangan mereka mereka ini adalah wujud nyata dari idiom jawa yg berbunyi "dipikir karo mlaku". Fantastis bukan?.

Tepat di depan bangku karman, agak geser sedikit, ada dua orang perempuan yg duduk berhadapan. Penampilannya sebenarnya biasa saja. Berkaos belang hitam putih dipadu dengan bawahan jeans ketat. Rambutnya yg agak pirang dibiarkan berurai sedikit dibawah bahunya. Yg satunya pun tidak jauh berbeda, berkaos pendek hitam, tapi dengan bawahan semacam celana tapi semi semi rok begitu, ya itu memang trend fasion sekarang ini. 
Ditangan keduanya terselip rokok yg sesekali mereka mainkan dengan memutarnya. Bibirnya bertambah seksi ketika dilalui asap yg dihembuskan dengan membentuk bulatan bulatan. Bisa dipastikan hampir semua orang disampingnya pasti ingin berinteraksi dengannya, termasuk juga si karman ini, karena perempuan itu terlihat supel, dan tak jarang juga dia tertawa dengan keras.

Dari tempatnya, karman hanya sedikit tersenyum dan mengamati dengan detail dua wanita itu. Tertawanya yg keras tak bisa menutupinya bahwa mereka adalah orang yg sedikit berwawasan agak luas. Ngopinya bukan hanya ngopi yg gosip mania. Karman jelas mendengar wanita itu berbicara tentang dekonstruksi, bea cukai, reklamasi, dan agak pelan ketika dia bicara sistem demokrasi dan khilafah. Terlihat sekali bahwa mereka ini sangat akrab sekali dengan isme-isme itu.

Jelas karman mendengar meskipun suaranya agak sedikit dikecilkan. Entah kenapa suaranya mengecil, mungkin karena dia takut dituduh anggota hti atau apa saya juga tidak tahu. Meskipun secara simbol--sepertinya --tidak mungkin, masak anak hti tidak menutup aurot sih. Ngerokok lagi. Sangat tidak masuk kriteria kader hti yg militan. Yg motto utamanya adalah berislam secara totalitas. Totalitas itu kan termasuk didalamnya ada bab aurot dong.

Nah, satu lagi karman dapatkan informasi, bahwa sebenarnya kesimpulan itu abstrak. Kesimpulan itu tidak permanen. Satu hari, satu jam, satu menit, bahkan satu detik, bisa saja kesimpulan itu berubah drastis. Jadi sangat lucu sekali kalau ada orang yg getol menyembah suatu kesimpulan tertentu yg tingkat akurasinya saja masih bisa berubah, atau bahkan dihilangkan.

Comments

Popular Posts