Legowo !

Ada hal baru yg menarik di desa karman. 
Agak jauh dari rumahnya, terdapat panggung yg tertanam pula mimbar ditengahnya.

"Saudara saudara, jika sy terpilih sy akan legowo memberikan sebagian bahkan seluruh gaji sy untuk rakyat dan bla bla bla.....".

Oohh tampaknya ada yang sedang berusaha meyakinkan warga agar tahu niat baiknya. Tentu karman dan sebagian masyarakat senang mendengar itu. 
Tapi ada yang mengganjal dibenak karman. Orang itu bilang akan " legowo" memberikan gajinya kepada rakyat.

Karman lama berfikir, dia coba mencerna ucapan orang itu tadi. Tapi hingga acara selesai yg ditandai dengan datangnya sore, karman tak juga menemukan titik terang. Dia pulang dengan pertanyaan besar yg hampir semua orang tak memperdulikannya.
Waktu terus berjalan dan kini waktu menunjukkan pukul 8 malam.
Di jam jam itu karman biasanya nongkrong di tempat biasa dengan teman temannya. Dia masih saja dihantui pernyataan yang tadi siang didengarnya.

"Lapo, le?, kok wajahmu gaenak ngunu."
Mbah man datang mengagetkan karman.

"Gapopo, mbah." pungkas karman.
Tiba tiba karman berfikiran untuk menanyakan perihal itu kepada mbah man ini. Dia ingin mengetahui pendapat mbah man mengenai acara tadi siang.

"Mbah, piye lek menurut sampean acara tadi siang?".

" opone, le?."

"Ya perkataan calon tadi."

"Oh yang legowo legowo itu ta?".

" iya, mbah."

"Gini le, kamu tadi kesini niat ngopi mu apa?, guyonan?, nyaman?, sepi?, atau gimana?."

"Yg sepi mbah, karena sy pengen merenungi omongan calon tadi."

"Tapi seumpama tiba tiba ada pengamen dengan personil yg tidak sedikit datang ke tempat kamu ngopi, bisa tercapai gak tujuan sepi mu itu tadi?."

"Ya tidak mbah."

"Nah, legowo itu posisinya kayak sepi tadi le. Niat legowo di awal itu belum jaminan bahwa dia benar benar akan legowo. Karena katamu tadi niat sepi bisa saja hilang kalau situasinya tidak mendukung untuk itu. Jadi kalo menurutku, le, legowo yg bener bener legowo itu ketemunya nanti ditengah perjalanan. Kalo yg diawal digembor gemborkan itu hanya pemanis bibir saja kok. Tetep bisa legowo itu dicapai tapi tidak oleh semua pejabat. Ya, satu dari tiga ratus lah."

"Iya juga ya, mbah."

"Hmm."

"Sekarang kalo konteksnya harta yang diberikan, maka tidak masalah bagi yang punya gaji diatas rata rata. Ya no problem. Lha wong "sebagian" hartanya saja sudah tidak habis dimakan. Tapi kalo yang kelas kelas pejabat bawah yang gajinya--mungkin--untuk berputar kehidupan sehari hari saja kurang, masak iya masih rela berbagi untuk rakyat? Di jaman yg seperti ini loh ya."

"Nah itu kamu tahu, yang terpenting itu bukan ketika dia memperkenalkan diri, tapi bagaimana keseharian dia. Nyumbang konsumsi ronda malam aja seret kok mau nyalon pemimpin itu loh. Itu kan dagelan sangat lucu sekali. Kalo orang jawa timur itu sudah mengenal "ngising nggowo pecut". Artinya, kalo dia berak saja bawa cambuk, tai nya saja ndak boleh dimakan, apalagi hartanya."

"Hahahahaha." mereka tertawa bersama.

Mbah man kembali menambahi.
"Sekarang gini loh gausah muluk muluk soal harta. Waktu mereka saja yang 'katanya sepenuhnya melayani rakyat' malah sama sekali tidak mencerminkan itu. Mau minta tanda tangan buat ngurus kartu keluarga saja ruwetnya minta ampun. Kebanyakan prosedur kayak mau ketemu sama malaikat. Kalau kita mau ketemu malaikat atid dan meminta kompensasi untuk menghapus catatan buruk kita, ya gak masalah kalau agak ruwet. Lha ini dia siapa? Yang milih dia ya rakyat, yang gaji dia juga rakyat, lhakok mau sok-sokan memposisikan diri diatas rakyat itu loh."

"Saya juga pernah dulu mbah, menghadap ke rumah pak lurah, tujuannya memang mau minta duit sih buat acara tahunan pemuda di desa. Tapi apa yg terjadi, jangankan ngasih duit, nemuin saya saja tidak mbah. Itu dua kali loh mbah saya seperti itu, dan seperti itu juga yang kedua. Kadang sy mikir mbah, gak dikasih duit juga gapapa kok, meskipun kami tahu anggaran tiap tahun yang masuk ke desa dan karang taruna itu ada. Tapi mbok ya ditemui dulu gitu loh. Padahal itu cuma lurah, tapi rasanya sy kayak menghadap presiden loh mbah."

"Nah itu maksud mbah, padahal dulu pas lurah mu baru mau nyalon kan ndak karu karuan omongannya. Yang mengabdi lah, gratis sekolah lah, pembangunan infrastruktur lah dan tetek bengek lainnya to?. Tapi kenyataannya?.

Jadi sekarang udah gausah terlalu ngoyo mikirin orang yang tidak mikirin kita. Yang penting kamu gak kayak gitu aja udah cukup."

"Nggeh, mbah, matur suwun."

Setelah itu samsudin datang, dan pertanda mereka harus menyelesaikan obrolannya, karena dia adalah tipikal orang yg tidak suka diajak bicara masalah begituan. Dalam diri samsudin, hidup ini ladang untuk guyon dan membuat orang tertawa, sesekali menertawakan boleh lah.

Comments

Popular Posts